
Maka segera aku menuju dapur, membuat sayur asem.
Setelah jadi ada seorang santri yang melewati ruang dapurku, Rohidin namanya.
"Kang Rohidin, sampeyan sudah makan belum? Kalau
mau ni aku buat sayur asem, ambil saja." aku berkata kepadanya.
"Oh nggeh, Kyai." Jawab santriku itu.
Lalu aku meninggalkan dapur, menuju ruangan yang lain
menunggu istriku selesai mendaras untuk kuajak makan bersama.
Selesai mendaras...
"Umi, aku dah masak sayur asem di dapur. Tolong
diambil terus kita makan," kataku.
Istriku langsung menuju dapur. Namun tak lama kemudian
terdengar suaranya dari arah sana, "Abah, mana sayur asemnya? Ngga ada
tuh!"
"Ya di dapur, Mi. Barusan aku yang masak
sendiri."
"Ngga ada, Abah!"
Merasa penasaran aku segera menuju dapur. Benar memang.
Sayur asem itu tidak ada. Sejenak aku berpikir.
"Oalah.... jangan-jangan Kang Rohidin ini."
"Ada dengan Kang Rohidin, Bah? istriku penasaran.
"Tadi selesai memasak aku nawari dia sayur asem.
Jangan-jangan semuanya diambil dia sama pancinya juga. Ya sudah biar saja.
Besok kita tanyai si Rohidin."
Keesokan paginya aku dan istri bertemu Kang Rohidin di
dapur.
"Kang, kemaren panci sayur asemnya mana?"
tanyaku kepadanya.
"Oh nggeh, Kyai, itu masih ada di kamar. Sebentar
saya ambil." Jawab sang santri sambil berlalu.
Mendengar jawaban itu aku dan istriku tertawa kecil
sambil menahan agar tidak meledak.
"Bener to, Mi?"
(KH. Subhan Makmun, Brebes)
0 komentar:
Posting Komentar