Bus
yang aku tumpangi mulai memasuki wilayah kotaku, Tegal. Aku segera berdiri
mengambil tas ranselku yang aku masukkan di tempat barang bawaan yang lazim ada
di bawah atap bus. Dari tempat dudukku yang di tengah segera kumelangkah menuju
pintu depan, berdiri di samping sopir meminta untuk turun di gerbang terminal.
Ada beberapa orang di belakangku yang juga hendak turun di sana. Maklum, bus
malam jurusan Jakarta jarang ada yang mau masuk terminal bus, apalagi malam hari
begini. Mereka hanya melewati jalanan depan terminal, jalan melambat sambil
melontarkan uang kertas yang entah berapa nominalnya kepada petugas Dinas
Perhubungan yang bertugas menarik retribusi, lalu kembali melaju kencang.
Beberapa
tukang becak berlarian melihat sebuah bus yang berjalan melambat dengan lampu
sign bagian kiri yang berkedap-kedip pertanda akan berhenti. Saat bus berhenti
mereka berusaha berada di bagian paling depan tepat di pintu bus yang mulai
terbuka. Dan saat penumpang yang hendak turun terlihat penawaran mengantar ke
tempat tujuan segera diajukan.
“Becak,
Mas?” seorang dari mereka menawariku sebelum kakiku benar-benar menginjak
tanah.
“Kampung
Shalawat, Pak.” Jawabku menyebut tempat yang kutuju.
“Oh,
ya. Lima belas ribu ya, Mas? Sudah malam.”
Penyebutan
tarif itu tak kutawar. Tarif lima belas ribu untuk jarak dua kilo dari terminal
sampai rumahku masih lumrah di malam hari. Di siang hari biasanya para tukang
becak ini mematok tarif sepuluh ribu untuk jarak yang sama. Maka aku segera naik
dan duduk. Aku mengambil bagian sisi kanan agar di sisi kiri bisa kutaruh
begitu saja tas ranselku.
“Punya
keluarga di Kampung Shalawat atau memang asli situ, Mas?” tukang becak itu
mengajakku berbicara.
“Saya
asli Kampung Shalawat, Pak.” Jawabku.
“Rumahnya
sebelah mananya rumah Mas Kasanun?”
“Saya
seratusan meter selatan rumahnya.”
“Oh,
ya tidak jauh.”
Menanyakan
“sebelah mananya rumah Mas Kasanun” itu adalah seperti pertanyaan wajib bila
seorang tukang becak mengantarkan penumpangnya ke Kampung Shalawat. Dua nama
itu, “Kampung Shalawat”
dan “Mas Kasanun”, memang
tak terpisahkan. Satu sama lain memiliki hubungan yang erat. Maka bercerita
tentang Kampung Shalawat pasti tak akan meninggalkan nama Mas Kasanun. Juga
sebaliknya, membicarakan Mas Kasanun kurang afdol bila tak serta membicarakan
Kampung Shalawat.
Mas
Kasanun dan keluarganya bukanlah asli penduduk kampungku, Kampung Keturen. Ia
berasal dari kota sebelah yang tak begitu jauh dari daerah asalku. Ia pindahan
rumah dan menetap sebagai warga kampungku sejak sepuluh tahun lalu.
Awalnya
masyarakat Kampung Keturen menganggap Mas Kasanun sebagai umumnya orang kota
yang punya gaya hidup berbeda dengan gaya hidup orang Kampung Keturen yang ndesani.
Terlihat sebagai orang kaya, berpendidikan, hidup dengan dirinya sendiri, acuh
tak mengenal tetangga sebelah. Namun kenyataannya tidak demikian. Mas Kasanun
orangnya sederhana dan luwes bergaul dengan masyarakat. Ia tak pilah-pilih
bergaul dengan warga asli kampung. Bahkan Pakde Pur yang oleh orang-orang
dijuluki “Master Gamblernya Keturen” saja Mas Kasanun mau bergaul dengannya. Ia
tak mempermasalahkan kebiasaan Pakde Pur yang suka berjudi hingga sering keluar
masuk bui karena ditangkap polisi.
Perilaku
Mas Kasanun yang memasyarakat ini membuat warga kampung mau menerimanya dengan
baik. Apalagi kehadirannya dirasakan warga membawa banyak perubahan baik di
kampung ini. Ia sering memberikan gagasan-gagasan bagus untuk kemajuan kampung.
Sering kali pada awalnya warga tidak bisa menerima gagasan-gagasan itu. Namun
Mas Kasanun tak mundur. Ia bersabar memberikan pengertian pada warga. Dan saat
gagasannya itu dicoba direalisasikan barulah warga Kampung Keturen menerima dan
mengakui manfaatnya.
Nama Kampung Shalawat adalah salah satu gagasan besar
Mas Kasunan. Meski saat itu aku masih dibilang anak kecil, namun aku masih
ingat betul bagaimana Mas Kasananun memaparkan gagasan Kampung Shalawat itu
kepada warga. Itu terjadi seusai kerja bakti sambil minum teh di pelataran
rumah Ketua RT.
“Jadi begini, Bapak-bapak.” Mas Kasanun berbicara.
“Kita membuat kesepakatan tak tertulis, bahwa setiap warga, setiap keluarga,
setiap hari seusai shalat maghrib membaca Shalawat Rahmat. Shalawat
Rahmat itu shalawat yang paling pendek; shallallah ‘alaa Muhammad.
Minimal setiap orang membaca seratus kali. Setiap hari, setiap usai shalat
maghrib.”
“Mengapa harus begitu, Mas?” Pakde Marno menyela.
Mas Kasanun tak segera menjawab. Ia menuang lagi air
teh yang tak lagi panas ke dalam gelasnya, lalu meminum.
“Begini, Pakde,” katanya kemudian, “menurut para guru
saya
shalawat itu memiliki arti rahmat, kasih sayang dari Allah. Setiap kita
membaca satu kali shalawat untuk Kanjeng Nabi Muhammad maka Allah akan memberi
kita sepuluh shalawat, sepuluh rahmat. Itu yang pertama. Kedua, guru saya juga
menjelaskan, setiap kali ada orang yang bershalawat maka ada malaikat yang
melaporkan hal itu kepada Kanjeng Nabi.”
“Nah
bisa kita bayangkan, kalo setiap orang dari warga kita setiap habis maghrib
membaca shalawat seratus kali itu berarti Allah menurunkan seribu rahmat
untuknya. Kalau ada seribu orang warga di sini membaca shalawat seratus kali
setiap habis maghrib, itu artinya setiap maghrib kampung kita ini dihujani
sejuta rahmat oleh Allah. Luar biasa kan?”
Sejenak
Mas Kasanun berhenti, meminum sedikit air teh yang telah dingin, lalu
melanjutkan.
“Kemudian
begini. Malaikat yang bertugas melaporkan kepada Kanjeng Nabi orang yang
bershalawat kepada beliau, setiap habis maghrib selalu melaporkan bahwa warga Kampung
Keturen seluruhnya sedang bershalawat, itu dilakukan terus menerus setiap hari.
Bukankah dengan demikian Kanjeng Nabi akan mengenal kita sehingga menaruh
perhatian lebih pada warga di sini?”
Sekali
lagi Mas Kasanun berhenti. Dipandangnya satu per satu wajah warga kampung yang
mengelilinginya. Mereka terdiam, terpikat kalimat Mas Kasanun, membayangkan
makna yang tersirat di dalamnya.
“Ini
luar biasa, Bapak-bapak. Setiap hari kampung kita ini dilimpahi rahmat kasih
sayang oleh Allah dan dikenal oleh Kanjeng Nabi sebagai kampung yang terus
menerus berkirim salam dan shalawat kepada beliau. Apa tidak berkah kampung
ini? Apa tidak nikmat hidup di kampung yang dirahmati?”
Beberapa
orang terlihat mengangguk-anggukkan kepala, seperti memahami ucapan Mas Kasanun.
“Tapi,
Mas,” terdengar suara Mbah Kirno menyela. Ia adalah orang tua dan dituakan di
kampung ini. “Mengapa harus menamakan kampung ini dengan Kampung Shalawat? Menurutku
begini, bacaan shalawatnya kita amalkan sesuai yang tadi disampaikan Mas
Kasanun, wong itu amalan bagus kok. Tapi nggak usahlah mesti menamai
Kampung Shalawat segala. Soale begini, dulu waktu masih muda aku pernah
tinggal beberapa tahun di Solo, tepatnya di Kecamatan Laweyan. Di sana, di
Kecamatan Laweyan itu, setiap malam habis maghrib pasti ada kegiatan simaan
Al-Qur’an. Malam ini di masjid mana dan mana, besoknya lagi di masjid mana,
terus seminggu penuh pasti ada masjid yang menggelar acara simaan. Tapi ya nggak
dinamakan Kampung Simaan atau Kecamatan Simaan. Malah dikenalnya Kampung Batik.
Aku juga pernah tinggal di Pekalongan. Setiap malam di sana pasti terdengar
suara orang baca kitab maulid di masjid atau mushalla. Ya tidak juga dijuluki
Kampung Maulid atau Kampung Shalawat.”
Mas
Kasanun tersenyum kecil. Sedikit mengangguk-anggukan kepala lalu berkata,
“Hemm...ini dalam rangka labelisasi, Mbah.”
“Walah,
apalagi itu labelisasi?” yang menimpali Mas Kahar.
Mas
Kasanun sedikit terkekeh, lalu terdiam beberapa lama. Ia mengambil nafas
kuat-kuat lalu menghelanya. Mimiknya terliat serius.
“Sebelumnya
saya mohon maaf, ya Bapak-bapak. Saya mau sampaikan sesuatu yang mungkin saja
menyinggung perasaan jenengan semua.”
Mas
Kasanun terdiam lagi sejenak, meminum tehnya untuk menguatkan ucapannya.
“Warga
di sini semua tahu kalau saya ini pendatang. Dulu waktu awal-awal saya pindahan
rumah di sini ada beberapa orang yang mengingatkan saya untuk berhati-hati
hidup di lingkungan sini. Sampai ada yang mengatakan saya ini tidak sayang anak
istri, kok membangun rumah di kampung yang warganya carut marut. Menurut mereka
kampung ini adalah kampungnya orang-orang nakal, kampungnya orang-orang yang
minus secara ekonomi, pendidikan, agama dan lainnya. Minuman keras dan perjudian
adalah pemandangan lumrah yang setiap hari bisa dijumpai di sini. Benar
tidaknya anggapan mereka ini saya kira panjenengan semua bisa menilai
to?”
Dikatakan
begitu beberapa orang yang duduk di sekeliling Mas Kasanun terlihat
bersenyum-senyum. Sebagiannya malah sampai terdengar tawanya. Mereka jelas
membenarkan apa yang dikatakan Mas Kasanun.
“Kenyataannya,”
lanjut Mas Kasanun, “setelah beberapa waktu aku hidup di sini aku rasa
masyarakatnya tidak sejahat yang mereka katakan. Aku rasa orang-orang di sini
baik-baik kok. Nyatanya, beberapa kali sepeda motorku berada di luar rumah
semalaman karena aku lupa memasukkan ya masih utuh sampai subuh, nggak ada yang
mengambil. Itu kan artinya orang-orang di sini baik-baik. Tapi ya itu, mbantingi
kartunya kok ya tak kenal waktu, ngambungi botolnya kok ya
tak pernah selesai, dua puluh empat jam jalan terus. Iya to? Hehehe....”
Mas
Kasanun terkekeh, disusul dengan tertawanya semua yang ada di situ.
“Tapi
bagaimanapun kita tidak bisa mengingkari kalau orang-orang di luar kampung kita
ini sudah menilai dan men-cap kalau kampung ini adalah kampungnya orang nakal,
kampung hitam. Nah, anggapan seperti ini tidak baik ke depannya untuk generasi
kampung kita. Karenanya kita mesti berusaha untuk mengubah anggapan itu menjadi
nama yang baik dan lebih baik. Salah satunya dengan menamakan kampung ini
sebagai Kampung Shalawat. Kita sendiri yang mesti mengubah citra kampung ini
dari kampung hitam menjadi kampung putih. Dari kampung kotor menjadi kampung
bersih. Dari kampungnya orang nakal menjadi kampungnya orang-orang baik yang
suka bershalawat, yang setiap hari dicurahi rahmat oleh Allah karena warganya ajeg
membaca shalawat, yang warganya dikenal Kanjeng Nabi suka berkirim salam bagi
beliau. Lalu kita sebut sendiri kampung kita ini sebagai Kampung Shalawat.
Inilah
yang disebut labelisasi dan pentingnya labelisasi bagi kampung ini. Dengan
menamakan demikian maka gambaran buruk yang sudah melekat kuat di benak
orang-orang di luar sana tentang kampung ini akan berubah menjadi gambaran yang
baik.”
Sebentar
Mas Kasanun berhenti, menelan ludah dan ringan mengambil nafas. Lalu lanjutnya.
“Sebagai
gambaran begini para sedulur. Kita kan sering mendengar berita gosip di
tivi, bahwa artis ini berpacaran dengan si anu. Padahal sesungguhnya itu hanya
gosip. Kenyataannya keduanya tak pernah berpacaran. Tapi karena gencarnya
pemberitaan maka jadilah keduanya benar-benar pacaran. Atau kita juga sering
mendengar berita kalau rumah tangga artis ini retak karena pasangannya
selingkuh dengan karyawannya. Padahal sesungguhnya yang terjadi tidak seperti
itu. Tapi karena pemberitaannya begitu santer maka terjadilah seperti yang
diberitakan itu, rumah tangga si artis bubar dan pasangannya benar-benar kawin
sama karyawannya. Nah, pemberitaan seperti itu namanya labelisasi.
Cara
seperti inlah yang akan kita pakai untuk mengubah citra kampung kita. Kita
labeli kampung ini dengan nama Kampung Shalawat. Setiap hari warganya
bershalawat, lalu di gerbang masuk di sana kita pasang tulisan besar;
SELAMAT
DATANG DI KAMPUNG SHALAWAT. UCAPKAN SHALAWAT “SHALLALLAH ‘ALAA MUHAMMAD”.
Lalu
di setiap sudut dan sepanjang jalan kita pasang juga tulisan shalawat yang
cukup besar agar setiap yang lewat di jalan kampung ini melihatnya, lalu
minimal membacanya dengan bershalawat dalam hati.
Gambaran
yang terjadi pada saatnya nanti adalah, ketika ada orang datang di terminal
misalnya, lalu ia mau naik becak atau ojeg ia tidak lagi mengatakan pada tukang
becak atau ojegnya “Keturen, Pak”, tapi ia mengatakan “Kampung Shalawat, Pak”.
Dan mendengar nama itu tukang becak atau tukang ojeg sudah paham kalau yang
dimaksud ya kampung kita ini. Dengan cara seperti inilah kampung kita tak lagi
dianggap sebagai kampung hitam.”
Mas
Kasanun memandang satu persatu wajah warga di sekitarnya. Banyak di antara
mereka yang menganggukkan kepala, tanda memahami ide pendatang ini.
Tak
lama sejak itu ide Kampung Shalawat ini menyebar ke warga seisi kampung. Mereka
mengamalkannya sesuai anjuran Mas Kasanun. Setiap habis shalat maghrib mereka
sejenak duduk berdiam untuk membaca shalawat rahmat “shallallah ‘alaa Muhammad”
minimal seratus kali atau lebih banyak lagi. Seminggu sekali setiap malam
selasa habis isya di mushalla diadakan kegiatan pembacaan shalawat dengan kitab
al-Barzanji atau Diba’i. Sementara di pengajian remaja, bapak-bapak, dan
ibu-ibu yang masing-masing diadakan seminggu sekali pada hari yang berbeda
dipastikan ada menu pembacaan shalawat rahmat sekian ratus atau ribu kali.
Lalu
di perempatan yang menjadi gerbang masuk kampung ini dipasang tulisan besar
itu. Di sepanjang jalanan kampung ini setiap lima puluh meter ditancapkan
tulisan shalawat yang mudah dibaca oleh pengguna jalan. Juga di setiap pintu
masuk gang. Dan di setiap rumah penduduk ditempel stiker bertuliskan “Sudahkah
Anda Bershalawat Hari ini?”
Dan
benar apa kata Mas Kasanun. Sejak saat itu orang-orang lebih mengenal kampung
kami sebagai kampung shalawat. Di daerah manapun di kota ini Anda datang, asal
menyebut Kampung Shalawat Anda akan ditujukan dan ditunjukkan ke kampung ini.
Satu
ketika orang tuaku bertanya kepada Mas Kasanun, “Kita inikan dianjurkan
banyak-banyak membaca shalawat, itu banyaknya seberapa, Mas?”
“Ya
sebanyak-banyaknya,” jawab Mas Kasanun. “Kalau bisa dalam beraktifitas juga
kita barengi dengan shalawat. Saat kita naik sepeda umpamanya, sambil kaki nggenjot
pedal bibir kita rengeng-rengeng membaca shalawat. Ibu-ibu yang lagi metiki
kangkung untuk dimasak dibarengi dengan bibir bershalawat lirih.”
“Tapi
apa ya tidak ada batasannya, Mas?” tanya orang tuaku lagi.
Mas
kasanun sejenak terdiam.
“Begini,
ada satu keterangan yang menyebutkan bahwa yang dianggap memperbanyak itu
minimalnya tiga ratus kali. Ada juga guru yang mengajari, kalau kita membaca
shalawat setiap hari tiga ratus kali dengan niatan untuk kebaikan anak-anak
kita, maka insya Allah anak-anak kita akan jadi anak yang baik, yang saleh,
meski sebelumnya nakalnya tidak ketulungan.”
Atas
penjelasan Mas Kasanun inilah kedua orang tuaku begitu bersemangat melanggengkan
membaca shalawat. Hasilnya?
Kata
orang tuaku, aku yang dulu ndableg, sulit diatur sulit diarahkan, yang
meski masih kecil tapi dikenal oleh warga kampung suka membuat onar, kini
menjadi lebih baik. Ini kata orang tuaku. Buktinya saat orang tuaku menawari
untuk belajar di pesantren aku nurut saja, tanpa ada perlawanan.
Ya,
dari sinilah semua itu terjadi. Dari Kampung Shalawat inilah kisah ini akan
dimulai. Tentang pesantren, tentang kyai dan santri, tentang kitab kuning dan makna
gandul atau jerendel, perihal bandongan dan sorogan,
juga soal sayur sop sandal jepit. Dan pada gilirannya nanti, insya Allah, bila
Allah menghendaki, akan aku kisahkan pula tentang misteri angka 13 khas
pesantren; Juz 13.
Masya Allah..... luar biasa ide itu tercipta, semoga kami bisa mengamalkannya
BalasHapus