
Di tengah-tengah rapat Pengurus Besar
Nauhdlatul Ulama yang dihadiri banyak kyai, Kang Said—begitu biasa aku
memanggil KH. Said Aqil Siraj, sang ketua PBNU—menerima telepon. Entah dari
siapa dan tentang apa isi pembicaraannya.
Usai perbincangan via telepon itu Kang
Said menyampaikan kepada forum, bahwa baru saja dia ditelepon oleh Kemnterian
Hukum dan HAM. Kemenkumham ingin meminta fatwa tentang boleh tidaknya wakaf
berupa uang. Jawaban atas pertanyaan itu ditungggu sekarang juga karena pada
saat itu juga Kemenkumham akan memutuskan menetapkan aatau tidak menetapkan
aturan tentang wakaf uang, tergantung apa fatwa dari PBNU.
Maka seketika itu juga satu persatu para
kyai yang hadir menyampaikan pendapatnya, kecuali aku yang hanya diam saja
mendengarkan diskusi mereka. Pada umumnya mereka menolak wakaf uang. Hingga
setelah semuanya berpendapat Kang Said memintaku untuk berpendapat. Maka
kujelaskan bagaimana itu wakaf, kusampaikan pula dari kitab apa saja aku
merujukkan pendapatku itu. Dan pada akhirnya aku menyatakan, “maka bila uang
yang diwakafkan itu dijamin oleh pemerintah untuk tidak habis atau berkurang,
wakaf uang itu sah, bisa diterima.”
Mendengar penjelasanku itu beberapa kyai
yang membawa laptop segera membuka laptopnya. Melalui aplikasi Maktabah
Syamilah mereka mengkroscek rujukan-rujukan yang aku sebutkan, dan semuanya
ditemukan. Maka semua yang hadir menerima pendapatku. Saat itu pula Kang Said
menelepon Kemenkumham dan meyampaikan bahwa PBNU menyatakan wakaf uang itu sah.
Maka atas dasar fatwa ini terbitlah
peraturan yang mengatur tentang wakaf uang.
Di lain kesempatan kami, para kyai di
PBNU, juga pernah mendapatkan pertanyaan dadakan yang harus segera di jawab.
Saai itu kami diminta fatwanya tentang pemimpin daerah yang bukan orang muslim.
Semua berpendapat dan terjadi perbedaan.
Seperti biasa aku diberi kesempatan
paling akhir untuk menyampaikan pendapat. Maka kusampaikan pendapatku.
Kusebutkan berbagai kitab rujukannya. Di antaranya kusebutkan fatwa Imam
Ghazali yang mengatakan bahwa, “sebuah negara dapat langgeng meskipun beserta
kekufuran, dan tak dapat langgeng bila dengan kedhaliman.”
Kulihat beberapa kyai membuka laptopnya
dan mengkroscek rujukan-rujukan yang tadi kusebutkan. Semuanya menemukan, semuanya
ditemukan. Dan diskusi saat itu menyatakan boleh pemimpin daerah yang bukan
orang muslim.
Atas peristiwa-peristiwa itu aku hanya
berpikir. Di mana ilmunya orang-orang jaman sekarang? Mengapa mereka harus
membuka laptop untuk melihat fatwa para ulama terdahulu? Mengapa tidak ada
dalam otak ilmu yang mereka kuasai?
Benar kata Imam Syafi’i; ketika aku di
pasar ilmuku ada bersamaku, ketika aku ada di jalanan ilmuku juga ada
bersamaku.
Ya, ilmu itu harus dihafal. Karena ilmu
harus selalu ada bersama pemiliknya, bukan di laptopnya.
(KH. Subhan Makmun, dalam acara Haul KH. Sulaiman, Desa
Keturen Kota Tegal, 20 Maret 2016)
0 komentar:
Posting Komentar