Mas
Muhadi menyambut kedatangan Kang Basyir. Ia mempersilakan tamuya untuk
mengambil tempat duduk di dalam rumah. Namun, seperti biasanya, Kang Basyir
dengan halus selalu menolak bila disuruh duduk di dalam. Ia lebih suka duduk di
luar rumah bersama sebagian besar masyarakat yang hadir dalam acara kenduri. Di
samping karena udara di dalam rumah begitu gerah, juga karena duduk di luar
lebih santai dan lebih memungkinkan bertemu dan berinteraksi dengan banyak
orang.
Ini
adalah malam kelima acara tahlilan atas meninggalnya Ibu Samroh, orang tuanya
Mas Muhadi. Menjelang maghrib sore tadi Mas Muhadi datang ke rumah Kang Basyir untuk
memintanya berkenan memberi mau’idhah pada tahlilan malam kelima ini. Kang
Basyir memenuhi permintaan itu. Maka malam ini selepas shalat isya ia segera
datang ke rumah Mas Muhadi. Meski saat sampai di sana baru satu dua orang yang
hadir, namun tak selang lama masyarakat berdatangan hingga memenuhi bagian
dalam dan pekarangan rumah Mas Muhadi yang cukup luas.
Tak
menunggu lama pembawa acara membuka rangkaian acara malam itu dengan mengajak
para hadirin membaca surat Al-Fatihah. Pembacaan surat Yasin dan dzikir tahlil
dimintakan kepada Ustad Karim untuk memimpin. Beliau ini salah satu ustad yang
ada di kampung sebelah yang menjadi favorit warga untuk dimintai memimpin
tahlil. Ini karena pandainya Ustad Karim dalam membawakan bacaan-bacaan tahlil
dengan alunan yang membawa jamaah hanyut dalam dzikir. Warga kampung ini
membahasakannya dengan kalimat, “tahlilannya di hati mak nyess…”
Sebagaimana
umumnya acara kenduri usai dzikir dan doa bersama tuan rumah menghidangkan
banyak makanan. Malam itu dihidangkan beberapa buah-buahan yang lagi musim,
jajanan kering, dan beberapa jenis gorengan. Kang Basyir tertawa kecil ketika
seorang pemuda menyuguhkan di depannya sebuah piring berisi penuh pisang goreng
seraya berkata pelan, “Kang Basyir, kesukaanmu, Kang, pisang goreng, masih
anget.”
Kang
Basyir tertawa kecil lalu berkata, “jangan lupa teh pahitnya juga lho, ya?”
“Beres,
Kang. Aku sudah siapkan. Aku tahu betul kesukaanmu, Kang.” Sahut pemuda itu
dengan ulasan senyum.
Para
hadirin menikmati apa yang disuguhkan tuan rumah, sambil bercakap ringan dengan
orang yang ada di sebelah kanan kirinya. Hingga dirasa cukup pembawa acara
kembali meraih mikrofon dan menyampaikan acara berikutnya yakni mau’idhah
hasanah yang disampaikan oleh Kang Basyir. Sebagian besar hadirin menghentikan
obrolannya, meski di beberapa sudut ada beberapa orang yang masih terdengar
pelan suaranya.
Kang
Basyir memulai membuka kalimatnya dengan salam dan sedikit mukadimah dalam
bahasa Arab. Katanya kemudian, “Para hadirin yang saya hormati, sudah empat
malam yang lalu panjenengan
mendengarkan mauidhah dari para ustad secara bergantian. Saya rasa itu sudah
cukup. Maka tak perlulah saya memberi mauidhah malam ini. Saya ingin malam ini
kita gendhu-gendhu rasa saja. Lagi
pula tak pantas kalau saya menyampaikan mauidhah di hadapan banyak ustad.
Begitu nggeh?”
“Nggeh!” serempak para hadirin
menjawab.
Kang Basyir sedikit memperbaiki letak duduknya,
sebelum kemudian ia memulai perkataannya.
“Begini
para sedulur. Saya ingin
bertanya kepada panjenengan semua.
Coba bayangkan, dan bayangkan ini benar-benar terjadi. Bila di depan rumah Anda
terbentang tanah kosong yang cukup luas, lalu sang pemilik tanah itu datang ke
rumah Anda untuk memberi tahu dan meminta ijin bahwa tanahnya yang ada di depan
rumah Anda itu akan diwakafkan dan dijadikan sebagai komplek pemakaman atau
kuburan. Apakah Anda akan memberikan ijin?”
Para
hadir terdiam. Sejenak suasana sepi, hingga akhirnya terdengar tertawa kecil
dari beberapa sudut dan di antaranya disusuli dengan kalimat, “Ya nggak tak
ijinkan lah…hehe…”
Suasana
sedikit riuh. Dari sisi kanan Kang Basyir terdengar ada yang menyeletuk ringan,
“Sampeyan kok ada-ada saja to, Kang?”
Kang
Basyir tersenyum mendengarnya.
“Lha,
ini kan acara tahlil kematian, ya bahasannya soal kuburan juga to?” timpalnya
diikuti dengan kekehan kecil para hadirin.
Sejenak
semua terdiam sebelum selanjutnya Kang Basyir meneruskan kalimatnya.
“Ya
sudah kalau panjenengan tidak
mengijinkan dibukanya komplek pemakaman baru. Sekarang begini saja. Seandainya,
tetangga Anda ada yang meninggal, lalu oleh keluarganya dikuburkan di
pekarangan rumahnya sendiri yang kebetulan posisinya berhapadan dengan rumah
Anda, akankah Anda melarangnya?”
Suasana
kembali hening. Tak ada suara sedikitpun yang disampaikan, dalam waktu yang
cukup lama, hingga Kang Basyir mengulangi pertanyaannya, “Akankah Anda melarang
tetangga Anda membuat kuburan di tanahnya sendiri?”
Sejenak
tak ada suara. Kekehan kecil yang serempak terdengar bersamaan. Kang Basyir
hanya tersenyum-senyum saja. Diraihnya gelas berisi air teh pahit hangat di depannya.
Ia reguk secukupnya.
Suasana
kembali mereda. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Kang Basyir menarik
perhatian para hadirin. Mereka menujukan pandangannya ke arah Kang Basyir,
menunggu kalimat berikutnya yang akan disampaikan.
“Begini
para rawuh sekalian. Dalam beberapa
bulan ini saya beberapa kali ikut mengantar jenazah ke pemakaman. Yang saya temui
di semua pemakaman adalah bahwa sebagian besar, atau bahkan semua, pemakaman
yang ada di daerah kita ini sudah penuh sesak. Untuk menuju sebuah kubur
seseorang kita mesti melangkahi, melompati, menginjak kuburan-kuburan yang lain
karena nyaris tak ada jalan di sana. Juga pada saat kita menunggu proses
pemakaman seseorang, mau tak mau kita pasti akan berdiri, duduk, atau jongkok
di atas sebuah kuburan. Padahal menurut para guru itu semua perilaku yang tidak
diperbolehkan.
Saya
jadi berpikir, bila saat ini saja setiap komplek pemakaman sudah penuh sesak,
bagaimana nanti ketika saya dan Anda semua mendapat giliran mati, masih adakah
tanah yang tersisa untuk kuburan kita?”
Sampai
di sini Kang Basyir sejenak menghentikan kalimatnya. Pandangannya ia kelilingkan
ke para hadirin yang tertuju ke arahnya.
“Jadi
menurut saya perlu segera diambil langkah konkrit, solusi untuk mengatasi
masalah ini. Salah satunya dengan membuka komplek pemakaman baru. Namun saya
sadar betul, pengadaan komplek pemakaman baru akan terkendala dengan sulitnya
meminta ijin pada masyarakat sekitar yang tempat tinggalnya bersinggungan
langsung dengan tanah pemakaman itu.
Dan
malam ini, kendala itu memang nyata. Panjenengan semua sudah menyatakan
keberatan seandainya dibangun komplek pemakaman di dekat rumah panjenengan.
Begitu, kan?”
Beberapa
orang tersenyum. Yang lainnya tetap berdiam tanpa mengalihkan pandangannya dari
arah Kang Basyir.
“Padahal
para hadirin sekalian,” lanjut Kang Basyir, “kita semua akan mati dan
membutuhkan tanah untuk kuburan. Dan saat ini kuburan itu telah penuh sesak.
Akankah, ketika kita masih hidup kita sering merepoti tetangga, lalu ketika
mati kita masih saja merepotinya dengan mendesak-desak, ngesol-ngesol, mereka yang sudah lebih dahulu tidur di sana?”
“Ya
sudah. Kalau memang membuka komplek pemakaman baru tidak Anda ijinkan, mengubur
di pemakaman yang sudah ada juga sudah sangat penuh sesak, maka pilihan
berikutnya adalah mengubur di tanah milik sendiri, baik itu di depan, belakang
atau samping rumah. Tapi, nyatanya tadi Panjenegan sebagai tetangga juga merasa
keberatan bukan? Terus mau bagaimana lagi?”
Semuanya
terdiam. Sebagian terlihat mengangguk-anggukan kepalanya. Sebagian lagi menarik
dan membuang nafasnya kuat-kuat.
Orang
yang duduk dua meteran di sebelah kanan Kang Basyir berbicara, “Bukankah
mengubur jenazah itu bisa ditumpuk, Kang?”
Kang
Basyir tak segera menjawab. Ia mengambil nafas agak dalam, lalu membuangnya.
“Mau
sampai berapa tumpukan?” jawab Kang Basyir kemudian dalam nada tanya.
“Dan
ini sangat riskan terjadi pertengkaran antar ahli waris si mayit. Mereka merasa
memiliki kuburan tersebut, merasa berhak untuk merawatnya dan menziarahinya
kapanpun mereka mau. Ibarat sebuah rumah, maka rumah yang telah ditempati
seseorang maka pemiliknya tidak akan rela bila ada yang ingin mengambil alih
rumah tersebut.”
Kembali
semua terdiam.
“Saya
masih punya pilihan yang ketiga,” lanjut Kang Basyir. “Kebetulan di sini banyak
ustad yang hadir, maka saya sampaikan pilihan ketiga ini kepada mereka untuk
dimintakan fatwa boleh tidaknya pilihan ketiga ini dilakukan.”
“Begini.
Kalau sudah tidak ada jalan lagi soal pemakaman ini, maka bagaimana hukumnya
bila komplek pemakaman yang sudah ada kita bangun bertingkat.”
Kalimat
ini membuat beberapa orang tertegun, tak tahu apa maksud pemikiran Kang Basyir.
“Gambaran
sederhananya, di atas tanah pemakaman yang sekarang ada kita bangun beberapa
lantai beton, disekelilingnya dibuat tembok keliling yang kemudian kita isi
dengan tanah. Di tanah pada beberapa lantai atas itulah jenazah akan
dikuburkan.”
Kang
Basyir mengurungkan untuk melanjutkan kalimatnya, ketika dari para hadirin
terdengar tawa kecil yang berbarengan. Dalam benak mereka terbayangkan sudah
bagaimana wujud sebuah komplek pemakaman bertingkat yang digagas Kang Basyir itu.
“Ini
baru gambaran sederhananya, lho ya.” Kang Basyir mengingatkan.
“Lha
gambaran tak sederhananya bagaimana, Kang?” seseorang menimpali.
“Gambaran
finalnya adalah Anda semua bisa membayangkan sebuah mall berlantai lima
misalnya. Sebuah gedung megah yang mewah, berlantai lima, komplit dengan lift
atau escalator. Hanya saja ketika Anda keluar lift di sebuah supermarket Anda
akan menjumpai berbagai barang dagangan yang dipamerkan, maka ini ketika Anda
keluar dari lift Anda akan melihat sebuah komplek pemakaman yang diatur rapi
sedemikian rupa.”
Tawa
hadirin kembali terdengar, kini lebih keras. Di ujung sana ada yang nyeletuk,
“Terus mau dinamakan apa, Kang?”
Kang
Basyir tangkas menjawab, “Barzakh Mall!”
Kembali
terdengar tawa keras para hadirin. Kang Basyir ikut tertawa.
“Ya,
di Barzakh Mall ini juga nantinya akan diberi area untuk kios-kios yang menjual
berbagai hal yang berhubungan dengan kuburan; batu nisan, kain mori, papan,
sampai bunga tujuh rupa pun ada.” Tambah Kang Basyir yang lagi-lagi disambut tawa.
Untuk
beberapa saat suasana dibiarkan lepas. Hingga saat semuanya kembali terdiam
Kang Basyir melanjutkan ucapannya.
“Ini
semua hanyalah gagasan, pemikiran saya setelah beberapa kali melihat secara
nyata kondisi komplek pemakaman yang ada di daerah kita. Ini perlu saya
sampaikan mengingat ini adalah kebutuhan nyata kita semua. Dan untungnya malam
ini hadir Pak Heru sekretaris lurah kita. Lewat Pak Heru semoga hal ini bisa
jadi bahan kebijakan pemerintah di tahun berikutnya.”
Mendengar
demikian Pak Heru yang duduk tak jauh di depan Kang Basyir segera menanggapi,
“Siap, Kang Basyir. Insya Allah gagasan ini akan saya sampaikan ke Pak Lurah
untuk kemudian diteruskan ke tingkat berikutnya. Semoga saja tahun besok di
kelurahan kita sudah bisa dibangun Barzakh Mall.”
Sekali
lagi para hadirin tertawa.
Kang
Basyir mengakhiri gendhu-gendhu
rasanya. Pembawa acara menutup acara tahlilan malam kelima itu dengan memberi
komando untuk membaca shalawat; shalluu
‘alan Nabi Muhammad!
Tegal, 3 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar